Kehadiran pendidikan di Indonesia sebagai sebuah wadah pembentukan masyarakat untuk melakukan pembangunan terhadap negara Indonesia. Pendidikan menjadi kebutuhan wajib bagi bangsa Indonesia hal ini tertuang dalam kalimat pembukaan UUD 1945 yakni menghidupkan kecerdasaan bangsa. Hal ini berarti masyarakat Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Sebagaimana Kongres pertama Taman Siswa pada 1930, Ki Hadjar Dewantara memberikan pandangan tentang pendidikan yang artinya upaya memajukan bertumbuhnya budipekerti, pikiran dan tubuh anak. Dalam perjalananya pendidikan menjadi bentukan formal dan diatur oleh negara melalui kebijakaan. Sehingga dalam pelakasaan berjalan secara sistematis dan teratur, agar pihak-pihak yang terlibat didalam dunia pendidikan mampu mejewantahkan apa yang disebutkan Ki Hadjar Dewantara yakni budipekerti, pikiran dan tubuh anak yang mampu merespon globalisasi.
Filsuf pendidikan Paulo Freire mengatakan dalam bukunya Pendidikan Yang Membebasakan Hubungan manusia dengan dunia bermacam-macam sifatnya. Untuk menghadapi tantangan lingkungan yang sangat berbeda, bahkan terhadap dengan tantangan yang sama, reaksi mereka juga tidak terpaku satu pola. Sebagaiman yang diketahui bahwa kita sedang mengalami masa pandemic dengan kata lain adanya pandemic merupakan dimensi sebuah hubungan manusia dengan dunia.
Pandemi membawa situasi yang berbeda dalam berkehidupaan berbangsa dan bernegara. Selain itu pandemi juga tidak menyerang satu sisi kehidupaan saja, akan tetapi semua kehidupaan (agama, sosial, politik, ekonomi, kesehatan bahkan pendidikan). Maka dari itu manusia mulai bersifat dinamis dan memanusiakan realitas.
Meminjam istilah Freire dalam bukunya berjudul Pendidikan yang Membebaskan, yakni Integrasi Lingkungan. Istilah ini menekankan pada kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan dunia, dan ditambah dengan kemampuan berfikir kritis, sehingga mampu membuat pilihan dan mengubah realitas.
Di masa pandemi ini konsep Integrasi lingkungan sanga diperlukan sehingga manusia dalam menjalani hubungan dunia kedepannya mempunyai pengalaman historis karena terlibat aktif didalamnya. Sejauh perjalanan pendidikan di Indonesia dalam menjawab pertanyaan zaman, apalagi dimasa pandemi ini. Tentu hal ini akan menimbulkan pertanyaaan bagaimana potret pendidikan kita dalam masa pandemic ini dalam menyiapkan generasi bangsa mendatang?.
Lahirnya Pendidikan Kaum Rebahan.
Sebelum datangnya Covid-19, Indonesia baru memasuki babak pertama dari Revolusi Industri 4.0, masa ini Indonesia sanggat gugup dalam menghadapinya hal ini menyebabkan proses yang begitu cepat dalam perubahaan manusia trandisional menuju modern. Sederhananya Era saaat ini adalah segala sesuatu yang kita kerjakaan bergantung dengan kecanggihan teknologi dan algoritmanya masing-masing. Tentu hal ini menimbulkan kegelisahaan pada dunia pendidikan, apakah bisa dunia pendidikan ini bergantung pada teknologi?
Dalam platform Republika.co.id memuat hasil survey tahun 2019-2020 yang dilakukan oleh APJII. Hasil tersebut mengatakan 73 Persen Masyarakat Terhubung Internet. Dari hasil survey tersebut kita dapat mengambarkan bahwa Internet menjadai kebutuhan primer masyarakat Indonesia.
Senada dalam Buku Berjudul Bergeraklah Mahasiswa yang ditulis oleh Eko Prasetyo. Didalam bukunya beliau memukan hasil dari penelitan penggunaan Internet. Dalam bukunya Eko Prasetyo mengutip hasil survey yang dilakukkan kompas mengatakan bahwa pengguna internet di Indonesia hampir di dominasi anak-anak muda mencapai 132,7 juta jiwa, yang sebagian besarnya adalah mahasiswa (89,7%), pelajar (69,8) dan pekerja,.
Covid 19 memberikan dampak yang mendalam pada dunia pendidikan, sebagaimana yang kita ketahui bawah kegiataan pendidikan yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka, kemudian semenjak ada covid-19 semuanya berubah secara 360. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan melalui Dinas Pendidikan, menerapkan sistem pembelajaran online atau pembelajaran jarak jauh. Hal ini sangat memberikan dampak yang besar pada para pelaku pendidikan baik dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi.
Pada dasarnya Covid bagaikan masa transisi yang memaksa manusia untuk mempercepat peradabaan yang disebut dengan istilah pasca-kebenaran (Post-truth). Pada akhirnya kita terhisap dunia digital seolah-olah kita menyerahkan hidup kita pada dunia digital. Padahal hidup di dunia digital bukan hanya melakukan video streaming, posting, serta aplikasi lainnya. tentu hal ini menjadikan keperibadiaan kita telah hilang.
Dasar pendidikan kita seharusnya sebagai proses memanusiakkan manusia. Tidak dapat hindari juga dengan adanya pandemi ini memaksa proses mendidik menggunakan mesin-mesin digital, padahal bicara mendidik bukan hanya menyampaikan materi. Di dalam proses mendidik lebih dari itu, adanya interaksi dan dialog antara seorang pendidik dan anak didiknya.
Perlu digarisbawahi didalam interaksi dan dialog dalam proses mendidik bukan hanya semata-mata bergantung terhadap silabus. Akan tetapi, ada sebuah informasi atau pendidikan yang disampaikan oleh pemangku lembaga-lembaga pendidikan. Diantaranya pendidikan karakter, pendidikan politik, dan pendidikan kesetaraan. Namun dari ketiga hal itu tidak pernah disinggung dalam lembaga-lembaga pendidikan, mungkin bisa dikatakan hanya pendidikan karakter yang terdengar. Itupun hanya sebagai slogan semata.
Mengembalikan Makna Pendidikan
Kalau kita merambah kembali dalam sejarah dunia pendidikan di Indonesia ada tiga tokoh yang menarik untuk kita bedah tentang keutopisan atas dunia pendidikan Indonesia, sehingga sampai saat perlu direfleksikaan. Ketiga tokoh tesebut diantara lain adalah Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, dan R.A Kartini
Ketiga tokoh tersebut mempunyai konsep tersendiri atas pendidikan, namun yang menarik adalah bagaimana pemikiran ketiga tokoh tersebut terhubung satu sama lain sehingga. Sebagaimana penulis mengutip diawal atas pernyataan dari Tan Malaka dan Ki Hadjar Dewantar, yang mempunyai cita-cita dalam pemikirannya tentang pendidikan emansipatoris. Tentu ini juga berlaku juga pada pemikiran R.A Kartini yang menyuarakan kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak atau lebih tepatnya kesetaraan gender.
Pada akirnya pendidikan menjadi ruang-ruang perlawanan atas hegemoni kekuasaan. Mengutip dari Peter Mayo, seorang ahli pendidikan kritis. Memberikan harapan pada kita hegemoni tidak pernah sempurna: selalu ada ruang dan kesempatan untuk menentang dominasi elite dan membentuk kontra hegemoni. Maka dari itu tugas dari pendidikan bukan hanya memberikan materi, tapi lebih dari itu pendidikan harus terlibat dalam arus agama sosial, budaya, perkembang sains dan teknologi, ekonomi, serta politik. Sehingga, dapat masyarakat tidak hanya mempertegas masalah kemanusian dan terlibat dalam tugas kemanusian.
retizen.republika.co.id/posts/14626/membayangkan
-pendidikan-yang-membebaskan-pasca-pandemi-19